Kodrat dan adat masih sering terjadi “kres” antar keduanya. Apa sih kodrat? Apa itu adat? Menurut kamus bahasa Indonesia, kodrat merupakan kekuasaan (Tuhan), manusia tidak akan mampu menentang atas dirinya sebagai makhluk hidup. Sedangkan adat ialah aturan (perbuatan, dsb) yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala. Bahkan jika dilihat dari pengertiannya, keduanya sangat berbeda.
Sejenak kita lupakan bahasan pengertian kodrat dan adat. Beberapa bulan lalu saya sempat mengikuti pelatihan WE (Woman Empowerment)
yang diadakan oleh salah satu LSM di Surabaya, YAKITA. Selama 2 hari
saya dan beberapa teman saya mengikuti pelatihan itu. Selama pelatihan
berlangsung, saya dapat teman baru dan tentunya cerita yang begitu “touching”. Ada yang mantan PSK, korban traficking,
korban KDRT, mantan pecandu, mucikari, dan juga orang dengan 3 huruf
positif. Ini lah pengalaman pertama saya, hidup selama 2 hari setempat
tinggal dengan ODHA, makan bareng ODHA. Meskipun saya tahu bagaimana
cara penularan HIV, diawal saya merasa was-was. Ada luka nggak di
tangan? Ini lah, itulah. Namun, selang beberapa jam kemudian akhirnya
saya bisa melupakan rasa was-was saya itu. sejenak saya berpikir, yang
sudah tahu tentang cara penularan HIV saja masih ragu saat bersama ODHA,
apalagi yang nggak tahu sama sekali??? Bisa dibayangkan.
Ketika pelatihan, saya mendengar
cerita kehidupan mereka di masa lalu. Menyentuh, dan tentunya banyak
pelajaran hidup yang dapat saya ambil. Mereka hanya sekelumit yang
terkungkung ketidakberdayaan, diperdaya. Lalu, mencoba melawan arus yang
membuat mereka terjerumus dalam lembah hitam yang menyakitkan.
Wanita. Dia lemah tapi kuat.
Beberapa materi diberikan untuk tambahan bekal bagi peserta. Sharing
pengalaman, diskusi, hingga kami semua seperti mendapat semangat dan
kekuatan baru untuk melangkah menuju masa depan. Materi yang didapat
salah satunya adalah tentang kodrat wanita. Masih banyak yang memiliki
anggapan bahwa wanita itu kodratnya di dapur, di kasur, dan di sumur.
Nggak perlu sekolah tinggi-tinggi, toh besok bakalan tetap di dapur. Itu
salah satu contoh yang masih sering saya dengar. Juga ada yang bilang,
kalau mengurus anak itu pekerjaan istri, suami cuma berkewajiban cari
duit. Bukannya dulu buatnya sama-sama? Wanita sudah ngalah hamil 9
bulan, masa gantian merawat anak si istri juga? Ada sebagian wanita yang
menolak, tapi sebagian besar menerima dengan hati terbuka. Apa
penyebabnya?
Masih kaburnya antara mana yang
kodrat, mana yang adat, menjadi salah satu penyebabnya. Kabur atau
dikaburkan atau karena ketidaktahuan atau pemahaman yang kurang benar
di masyarakat. Sejak dulu, mungkin jaman nenek moyang kita, yang
kemudian bertahan sampai sekarang adalah asumsi bahwa wanita itu
kewajibannya hanya di dapur, di sumur, tak lupa di kasur. Itu mengakar
kuat di masyarakat. hampir tidak mungkin untuk meluruskan asumsi itu.
Memasak, pekerjaan wanita atau
pria? Apakah itu kodratnya wanita? Banyak sekarang pria yang pandai
memasak bukan? Merawat anak, apakah itu kodrat wanita? Wanita memang
mahir merawat anak, apakah karena kodrat? Wanita terbiasa dengan
pekerjaan merawat anak ketimbang pria. Bukankah artinya pria juga bisa
mahir merawa anak kalau dia terbiasa?
Adat seakan-akan menjelma menjadi kodrat.
Kodrat wanita berhubungan dengan
apa yang tidak dimiliki oleh laki-laki. Ada 4 kodrat wanita, ialah
menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui.
Wanita diperkenankan melakukan
aktivitas seperti halnya seorang laki-laki, asalkan tidak mengurangi
hakikat dari kodratnya. Wanita boleh bekerja, asalkan dia tidak lupa
akan kodratnya untuk menyusui anaknya, misalnya. Selama wanita masih
bisa menjaga dan menjalankan kodratnya, adakah yang salah?
Sisi lain, sekarang mulai
bermunculan apa yang sering kita sebut “wanita karir”. Pergi pagi,
pulang malam. Kurang peduli terhadap anak dan keluarganya. Kalau kita
kembali berbicara masalah kodrat, apakah itu menyalahi kodrat?
Wanita boleh menuntut untuk
diperlakukan sama dengan lelaki, boleh melakukan apa-apa yang dilakukan
oleh lelaki. Namun, sebagai wanita harus mempertimbangkan kodrat yang
melekat pada dirinya, bukan?
Pelajaran berharga itulah yang saya
ambil. Wanita harus berdaya, tidak hanya untuk diperdayai. Semoga
mereka yang bernasib sama seperti teman-teman baru saya, tetap diberi
semangat untuk menjalani masa depannya. Salam.. :-)
“Hai, kau wanita! Teriakkan kemauan hatimu sekencang mungkin. Agar mereka yang belum mendengar suara hatimu, mendengarnya”.
0 komentar:
Posting Komentar